Dulu, kalau ada orang bicara soal “healing” atau jalan-jalan, saya mungkin cuma tersenyum tipis. Bagi saya saat itu, prioritas utama adalah belajar, belajar, dan belajar.
Waktu itu saya sedang berada di Kediri, Jawa Timur. Tepatnya di Pare, mengikuti kursus bahasa Inggris di LC English (Kampung Inggris). Fokus saya cuma satu: menuntaskan materi dan meningkatkan kemampuan bahasa Inggris. Tidak ada kamus liburan di kepala saya.
Hingga suatu hari, seorang teman tiba-tiba nyeletuk, “Eh Nif, naik ke Gunung Kelud yuk!”
Penolakan Awal
Jujur, reaksi pertama saya dalam hati adalah: Hah? Gunung? Ngapain ke sana? Capek-capein badan aja.
Karena memang seumur hidup saya belum pernah mendaki gunung, saya langsung menolak. “Sorry bro, kayaknya engga deh. Aku mau fokus belajar aja di sini,” jawab saya spontan.
Tapi, teman saya ini tidak menyerah. Dia terus membujuk berkali-kali. Mungkin karena risih atau sekadar penasaran kenapa dia ngotot sekali, saya akhirnya iseng membuka Tiktok untuk mencari gunung tersebut yaitu Gunung Kelud.
Dan… wow.
Mata saya terpaku pada layar HP. Foto-foto kawah hijau toska yang dikelilingi tebing batu itu benar-benar memukau. Rasa skeptis saya perlahan luntur, berganti dengan rasa penasaran.
“Oke, gas!” Akhirnya saya setuju.
Perjalanan Menuju Keindahan
Tanpa pikir panjang, kami langsung bergerak. Karena ini pengalaman pertama, saya nol besar soal peralatan. Kami pun menyewa semua perlengkapan mendaki yang dibutuhkan.
Perjalanan dari Pare ke lokasi memakan waktu kurang lebih 2 jam. Tapi 2 jam itu sama sekali tidak terasa membosankan. Sepanjang jalan, mata kami dimanjakan dengan pemandangan yang—maaf agak klise—tapi benar-benar sulit dijelaskan dengan kata-kata. Indah sekali.
Puncak dan Sebuah Kesadaran Baru

Sesampainya di puncak dan melihat langsung kawah Gunung Kelud, rasanya lelah perjalanan terbayar lunas. Kami menikmati momen itu, angin yang berhembus, dan megahnya alam di depan mata.
Di atas sana, di tengah keheningan dan kekaguman, sebuah pemikiran menghampiri saya.
Selama ini saya terlalu keras pada diri sendiri. Saya sadar bahwa ternyata kita perlu yang namanya refreshing atau healing. Bukan untuk lari dari tanggung jawab, tapi agar kita bisa menikmati hidup itu sendiri.
“Hidup boleh serius, namun jangan lupa untuk dinikmati agar kita merasa benar-benar hidup.”
Itulah pelajaran terbesar yang saya bawa turun dari Gunung Kelud. Bukan hanya foto-foto bagus, tapi sebuah perspektif baru.
Hobi Baru
Siapa sangka, si anak yang tadinya “anti-healing” dan cuma mau belajar di kamar, sekarang justru ketagihan. Sejak momen di Kelud itu, mendaki gunung menjadi hobi baru saya. Saya jadi sadar, alam adalah tempat belajar yang sama pentingnya dengan ruang kelas.
Bagi teman-teman yang merasa hidupnya terlalu kaku atau terlalu sibuk mengejar target, cobalah sesekali menepi ke alam. Mungkin, kalian akan menemukan kembali semangat yang sempat hilang, sama seperti saya di puncak Kelud hari itu.

